FISIP_UPS_TEGAL

Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI

Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI
Oleh: Ichlasul Amal (Prof. DR.)
1. Secara umum ada dua jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi demokratik (Democratic decentralization). Dekonsentrasi adalah suatu proses di mana departemen pusat menyerahkan fungsi dan tugas khusus pada pejabat lapangan di daerah-daerah. Wewenang dan otoritas anggaran dan administrasi tetap berada di pemerintah pusat. Otonomi pada periode Orde Baru lebih banyak berbentuk dekonsentrasi, sedangkan pada pasca Orde Baru sekarang ini, otonomi daerah dimaksudkan berbentuk desentralisasi demokratik. Prinsip desentralisasi demokratik adalah bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab pada warganya melalui pemilu yang teratur ataupun melalui mekanisme yang lain seperti pers bebas dan masyarakat madani (civil society) yang matang. Dalam kerangka ini otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang dalam konteks tata pemerintahan nasional yang baik (national democratic governence).Dalam kriteria semacam ini, kita dapat memastikan bahwa otonomi daerah di Indonesia saat ini masih berada pada periode transisi menuju desentralisasi demokratik. Dalam kaitan ini sejumlah pakar mengingatkan bahwa otonomi yang berhasil adalah yang dapat meningkatkan efisiensi dan respon sektor publik serta dapat mengakomodasi potensi meledaknya kekuatan-kekuatan politik. Sebaliknya otonomi yang gagal adalah yang mengancam stabilitas politik dan ekonomi serta mengacaukan pelaksanaan pelayanan umum.
2. Persoalan otonomi daerah dalam perpolitikan Indonesia telah ada sejak Indonesia merdeka. Tarik menarik tentang otonomi daerah antara kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi dalam setiap periode pemerintahan dan ini tercermin dalam undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah yang dihasilkannya. Sebagai contoh, ketika terjadi pergolakan daerah PRRI/PERMESTA pada pertengahan tahun 50-an, salah satu tuntutan mereka yang utama adalah peningkatan porsi otonomi daerah bagi kepentingan daerah baik dalam hal kewenangan politik maupun ekonomi.Pada awal Orde Baru, tuntutan otonomi daerah yang seluas-luasnya muncul kembali. Ini disebabkan oleh dorongan opini masyarakat pada umumnya saa itu yang berpendapat bahwa rezim sebelumnya (Orde Lama) secara politik terlalu sentralistik sementara kebutuhan ekonomi daerah diterlantarkan. Bentuk tuntutan pada waktu itu adalah agar daerah diberi “alokasi devisa otonomi” (ADO) yang berupa devisa hasil ekspor di pelabuhan-pelabuhan daerah dan pembentukan sejumlah propinsi baru.Aspek ekonomi otonomi daerah mencuat menjadi fokus kebijakan pemerintah pusat setelah “boom” minyak tahun 1973 dan penyusunan APBN didasarkan pada pinjaman luar negeri. Dalam konteks emonomi-politik semacam ini kemudian dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam salah satu pasalnya, UU ini menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada tingkat II (kabupaten dan kodya), tetapi dalam pelaksanaannya semuanya dikendalikan pusat.Karena itu secara politik UU ini dikenal sangat sentralistik, sementara penyebaran dana pembangunan ke daerah-daerah dilakukan dalam bentuk sistem pendanaan Inpres (Instruksi Presiden) yang ditentukan sepenuhnya oleh pusat.
3. Dengan kebijakan seperti itu rezim Orde Baru telah menciptakan ketergantungan yang sangat besar keuangan daerah pada pusat. Hampir 90% dari seluruh penerimaan dalam negeri dikuasai oleh pusat, sementara pembiayaan unit-unit di bawahnya 60%nya tergantung pada atau dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Dibandingkan dengan keadaan di banyak negara sedang berkembang lainnya –terlepas apakah bentuk negara tesebut negara kesatuan atau federal –ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat seperti itu agak aneh (berlebihan). Ketergantungan yang berlebihan daerah terhadap pusat yang cukup lama telah membungkam munculnya inisiatif dan kewirausahaan lokal dan menciptakan pemborosan dan tidak efisien dalam menggunakan sumber daya publik. Walaupun demikian, di samping kelemahan yang berlipat-lipat dari sistem pemerintahan yang sentralistik, keuntungan yang utama sistem sentralistik Orde Baru adalah kemampuannya mengurangi kesenjangan dengan cara melaksanakan kebijakan pemerataan (equisation) antar daerah, yakni dengan melakukan kebijakan Inpres dalam pembiayaan pembangunan daerah.
4. Reformasi yang menyebabkan lengsernya kekuasaan yang monolitik, dari Suharto ke Habibie, menggeser secara ekstrim pendulum sentralisasi ke desentralisasi. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang dibuat secara tergesa-gesa untuk memenuhi tuntutan politik reformasi pemerintahan daerah pada dasarnya menganut prinsip “federal”. Daerah memiliki kekuasaan otonomi untuk semua fungsi pemerintahan kecuali lima hal yang masih di tangan pusat yaitu : Politik Luar Negeri, Keamanan dan Pertahanan, Moneter, Agama dan Kehakiman. Keluhan dan kritik terhadap pelaksanaan kedua UU ini sebagai manifestasi reformasi politik dan ekonomi di pusat yakni kedua UU ini dianggap sebagai bagian dari demokrasi yang “kebablasan”. Di sejumlah daerah terutama yang kaya dengan sumber alam ketidakpuasan atas pembagian hasi tambang (minyak, batubara, gas dll) dapat berbentuk tuntutan untuk “merdeka”. Ini yang terjadi di Aceh, Riau, Papua, walaupun untuk Aceh dan Papua ada elemen-elemen lokal lain yang mendukung tuntutan merdeka tersebut. Untuk Papua dan Aceh yang tuntutannya untuk merdeka diikuti dengan gerakan-gerakan bersenjata, pemerintahan pusat mengakomodasinya dengan memberikan “otonomi khusus”. Fenomena seperti inilah yang menyebabkan mengapa pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang dibuat pada saat eforia reformasi dianggap sebagai penyebab timbulnya disintegrasi. Penyederhanaan pandangan atas gejala disintegrasi ini membangkitkan ingatan sejumlah orang atas terjadinya gerakan “separatis” pemberontakan daerah PRRI/PERMESTA.
5. Pandangan bahwa UU tentang otonomi daerah akan menimbulkan gerakan-gerakan disintegrasi menjadi pandangan yang dominan di antara para pakar dan praktisi politik. Pedebatan tentang apakah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 perlu diamandemen atau tidak, menimbulkan dua kubu yang pro dan kontra. Yang pro tidak perlu diamandemen didukung oleh asosiasi kabupaten dan kota terutama dari daerah-daerah yang kaya sumber alam, karena mereka merasa mendapat subsidi DAU dari pusat yang cukup dan memperoleh dana perimbangan keuangan yang dapat mereka belanjakan sekehendak mereka.Kelompok yang kontra dan menuntut dilakukannya amandemen terdiri dari asosiasi gubernur yang merasa bahwa dengan UU No. 22 Tahun 1999 menekankan otonomi lebih pada kabupaten dan kota, sementara mereka kurang memiliki wewenang koordinasi atas unit otonomi di bawahnya (kabupaten, kota) bahkan tidak bisa intervensi bila terjadi permasalahan di wilayah otoritasnya. Kelompok ini juga didukung oleh deparetmen-departemen pusat terutama Departemen Dalam Negeri yang akses kontrolnya sangat berkurang dengan adanya UU No.22 Tahun 1999.
6. Bagi partai politik dan birokrat pemerintahan di pusat pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 membuat organ-organ di bawahnya lebih independen dan sering tidak mau mengikuti arahan dari pusatnya terutama untuk partai yang anggotanya duduk di DPRD yang sering membuat kebijakan tanpa konsultasi pada DPD-nya, terutama dalam pembuatan APBD dan dalam pemilihan kepala daerah.Itulah sebabnya DPR pusat secara cepat menyetuui amandemen UU No.22 Tahun 1999 terutama yang mengyangkut pemilihan secara langsung kepala daerah (Pilkada). Sementara birokrasi pusat menginginkan wewenang koordinasi dan pengawasan gubernur dan pusat pada kabupaten dan kota lebih besar. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 akhirnya diganti denagn UU No. 32 Tahun 2004 dan UU NO. 33 Tahun 2004 yang orang mengatakan bahwa elemen resentralisasinya sangat kuat dalam UU ini. Dalam hal anggaran, anggaran dekonsentrasi semakin besar yang berarti fungsi koordinasi dan pengawasan gubernur atas unit-unit pemerintahan di bawahnya semakin besar, demikian juga dana departemen pusat yang dilewatkan melalui dana dekonsentrasi juga bertambah besar. Gubernur menjadi katalisator pusat dalam menghadapi kabupaten dan kota.
7. Apa yang bisa menjadi pelajaran dari otonomi daerah sejak reformasi yaitu UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004. Adakah otonomi daerah telah mencapai tujuannya yaitu mampu meningkatkan pelayanan pada masyarakat dan menambah kesejahteraan masyarakat. Ini sulit dijawab, kalaupun jawabannya ya, maka hal itu sangat sporadik dan individual. Bahkan menurut hasil studi tentang desentralisasi di sejumlah negara menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi/ otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Lalu, apa yang perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyusun aturan dan UU tentang otonomi daerah di masa depan agar tidak mengarah ke disintegrasi bangsa. (Perlu diketahui bahwa disintegrasi bisa terjadi di negara yang berbentuk federal maupun yang berbentuk kesatuan). Satu hal penting yang perlu dirancang dengan seksama untuk menjada kohesi (intgrasi) daerah adalah skema equalisasi (equalization scheme) yang dapat mengurangi dan bahkan menghapuskan disparatis antar daerah.Skema equalisasi ini pada jaman rezim Orde Baru pernah dilaksanakan walau tidak sepenuhnya selalu berhasil. Kebijakan membuat skema seperti ini harus diartikan secata luas dan dikaitkan dengan kebijakan politik yang mendasar agar kebijkan tersebut dapat menjadi bagian dari mekanisme resolusi konflik yang dipilih oleh pemerintah. Baru-baru ini presiden SBY menyatakan dalam pidatonya di muka sidang paripurna DPD bahwa di masa datang akan diatur jumlah DAU untuk daerah yang tidak menerima dana perimbangan keuangan akan diperbesar sementara DAU untuk daerah yang menerima perimbangan keuangan akan diperbesar. Ini adalah contoh dari pelaksanaan skema equalisasi, tetapi sejauh mana kebijakan ini bisa direalisasikan tanpa menimbulkan gejolak, marilah kita tunggu bersama.

0 Komentar untuk "Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI"
Back To Top