FISIP_UPS_TEGAL

Romantika Politik

Absurditas Asas Tunggal Partai
Oleh: Yusuf A.K.

Usul penyeragaman asas partai menjadi asas tunggal Pancasila, yang diajukan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam konsultasi parlemen-pemerintah untuk menyusun inventarisasi masalah prapenetapan Rancangan Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya kaukus partai politik berasas Islam.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Bulan Bintang (PBB) secara tegas menyatakan menolak usul penyeragaman asas tunggal partai karena dianggap bukan zamannya lagi dan bertentangan dengan prinsip mendasar sistem multipartai sekarang ini. Mereka--kaukus partai Islam--juga menganggap asas Islam tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Adapun Partai Islam moderat yang pluralis, yaitu PKB dan PAN, menolak penyeragaman asas partai karena hal tersebut membangkitkan romantika politik bergaya Orde Baru. Asas tunggal partai akan memasung kebebasan dan hak berpolitik rakyat secara langsung ataupun tidak langsung.
Dasar argumentasi partai nasionalis, seperti Partai Golkar-PDIP-Demokrat, untuk mengegolkan asas tunggal partai disebabkan oleh kekhawatiran akan menguatnya politik primordialisme dalam kancah perpolitikan nasional/lokal.
Hadirnya peraturan daerah bernapaskan syariat Islam di berbagai daerah ditunjuk sebagai ekspresi gerakan menentang konsensus nasional, yakni ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, Abdurrahman Wahid, tokoh PKB, memiliki argumentasi tersendiri menanggapi usul penyeragaman asas partai. Menurut Gus Dur, demikian panggilan Abdurrahman, penyeragaman asas partai adalah manuver politik Partai Golkar untuk mendapatkan klaim historis-politis atas penafsiran ideologi Pancasila versi mereka. Padahal selama Orde Baru justru Partai Golkar merupakan mayoritas tunggal yang mengingkari substansi Pancasila karena mendukung pemerintahan yang korup dan antirakyat (antikeadilan sosial).
Dalam pemahaman demokrasi, penyeragaman asas partai justru merupakan wujud pengingkaran ideologis karena demokrasi mensyaratkan perbedaan-keberagaman ideologi kepartaian. Bahkan di negara maju, seperti Jepang, Prancis, Jerman, Belanda, ideologi "sesat" seperti komunisme dan fasisme diperbolehkan hidup menjadi ideologi partai politik peserta pemilu.
Penyeragaman asas partai membuka kembali politik otoritarianisme era Orde Baru. Sebab, melalui asas tunggal Pancasila akan terjadi proses hegemoni politik oleh kekuatan partai yang dominan (partai penguasa, the ruling party). Partai yang berkuasa yang berhak memonopoli tafsir atas ajaran ideologi Pancasila. Partai yang marginal merupakan pengikut interpretasi ajaran Pancasila versi partai pemenang pemilu.
Asas tunggal partai politik, jika direalisasi dalam Undang-Undang Partai Politik, akan mengakhiri dinamika pemikiran ideologi kontemporer sebagai jawaban krisis multidimensional yang dialami bangsa ini. Sebab, asas tunggal partai akan membelenggu kebebasan organisasi masyarakat sipil dan partai politik untuk merekonsepsi program-program kepartaian yang selaras dengan filosofi nilai yang diyakini oleh para kader dan massa partai politik.
Repolitisasi Pancasila dalam RUU Partai Politik sebagai asas tunggal secara otomatis juga akan menjadikan Pancasila sebagai sebuah ideologi sakral yang melebihi nilai-nilai spiritualitas bangsa Indonesia; akan menjadikan Pancasila tak ubahnya sebuah tabula rasa yang sekadar dipajang di ruang-ruang pertemuan publik; bukan dihayati sebagai sebuah manifestasi Ideologi untuk menciptakan kemakmuran sosial bagi masyarakat.
Andaikata dalih penetapan Pancasila sebagai asas tunggal partai didasari oleh kekhawatiran akibat meningkatnya semangat sektarianisme keagamaan, seharusnya para elite politik partai mendorong lahirnya perundang-undangan yang melindungi prinsip keberagaman sosial bangsa ini. Bukannya acap kali menyetujui berbagai produk perundang-undangan yang mengeliminasi nilai kebhinekaan, seperti RUU Pornografi dan Pornoaksi. Atau berbagai produk peraturan daerah berbau syariat Islam di berbagai kabupaten/kota madya--semacam Bulukumba, Padang, Solok, dan lain-lain--yang ironisnya didukung oleh elite lokal Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mendominasi jatah kursi DPRD wilayah tersebut.
Komitmen atas ideologi negara, Pancasila, dan NKRI tidaklah harus ditekstualkan menjadi asas tunggal partai politik yang sama artinya dengan meredam bangkitnya sebuah konstruksi pemikiran sosial sebagai jawaban solusi krisis kenegaraan.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/09/21/Opini/krn,20070921,50.id.html
Yusuf A.K. dokter dan peminat masalah sosial, tinggal di Wonogiri
0 Komentar untuk "Romantika Politik"
Back To Top