Khusus untuk Pemilu 2004 diberi catatan karena merupakan implementasi pertama dari hasil perubahan UUD 1945 oleh MPR (1999–2002) yang telah merombak secara mendasar struktur ketatanegaraan Indonesia,sehingga menghasilkan aturan-aturan baru dalam hal penyelenggaraan pemilu.
Ada tiga hal yang perlu dicatat dalam Pemilu 2004. Pertama, pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22 E ayat 5 UUD 1945).
Kedua,untuk pertama kalinya pemilu memilih anggota legislatif (DPR dan DPRD) menggunakan sistem pemilu proporsional daftar calon terbuka yang dalam teknis kepemiluan sangat berbeda dengan sistem yang lama (proporsional tertutup).Ketiga, untuk pertama kalinya memilih anggota DPD dengan sistem suara terbanyak dan pertama kalinya memilih presiden dan wakil presiden secara langsung dengan sistem popular vote.
Sistem Pemilu Paling Rumit
Sistem pemilu yang baru itu sangatlah rumit dalam operasionalisasinya, sehingga International Observer pada 2004 menyebutnya sebagai the most complex election system in the world and the biggest ever election ever held in a one single day. Dalam satu hari (5 April 2004) dilangsungkan serentak pemilu untuk memilih anggota legislatif.
Tidak kurang dari 460.000 orang yang bertarung di 2057 daerah pemilihan untuk memperebutkan 550 kursi anggota DPR, 128 kursi anggota DPD, 16.000 kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; dengan 153 juta pemilih di 585.218 TPS (1 TPS untuk 300 pemilih) dan 5,5 juta petugas pemilu yang terdiri dari KPPS, PPS, PPK,440 KPU kabupaten/kota dan 32 KPU provinsi dan KPU pusat.
Sifatnya yang kolosal dan dengan sistem pemilu yang paling rumit di dunia menyebabkan tidak mudah menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Penyelenggara pemilu haruslah memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemilu yang demokratis secara profesional: lembaganya independen dan anggotanya bersikap netral, nonpartisan, dan imparsial.
Kemudian kemampuan penyelenggara memahami konteks Indonesia seutuhnya dipastikan akan sangat membantu menyelenggarakan perhelatan besar itu. Dalam hal ini adalah pemahaman atas kondisi geografis, karakter demografis, sistem politik dan sistem hukum,budaya politiknya, kemampuan ekonomi, juga pemahaman mengenai sistem pemilu, partai dan sistem kepartaiannya.
Kapasitas manajerial dan leadership sudah tentu menjadi kebutuhan utama. Hanya orang-orang pilihan dan terpilih saja yang akan mampu menjalankannya. Di samping itu harus dipahami pula bahwa pemilu bukanlah sematamata peristiwa politik atau sekadar menggiring pemilih ke TPS,tetapi juga peristiwa ekonomi.
Ia dapat menjadi pintu masuk perbaikan ekonomi, serta dapat mengangkat citra bangsa/ negara Indonesia di mata internasional. Penyelenggara harus berupaya agar pemilu berlangsung damai dan tidak menimbulkan konflik pasca pemilu. Hanya dengan cara demikian hasil pemilu dapat mengantarkan Indonesia membentuk parlemen dan pemerintahan baru secara damai.
Belajar dari Pilkada
Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu nasional pada 2004 dengan damai dan demokratis, bangsa Indonesia kemudian melangsungkan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Hal ini diatur dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada waktu itu paradigmanya pilkada bukanlah pemilu,tetapi bagian dari pengelolaan pemerintahan daerah.
Banyak persoalan muncul selama penyelenggaraan pilkada antara 2005–2008.Yang menonjol adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar, maraknya politik dalam pencalonan dan pemungutan suara, amuk massa pendukung karena calonnya kalah, tidak netralnya PNS dan sebagian aparat pelaksana,penyalahgunaan jabatan oleh calon incumbent, rendahnya partisipasi pemilih,buruknya penyelesaian sengketa suara, tidak serentaknya penyelenggaraan pilkada,mahalnya ongkos untuk maju pilkada, hingga tidak bonafidenya kepala daerah terpilih, serta pecahnya kongsi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dari berbagai persoalan tersebut beberapa hal dapat dicatat,khususnya pilkada yang diselenggarakan pada 2005–2007.Pertama, dualisme dalam penyelenggaraan (UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) menyebabkan kesimpangsiuran siapa sesungguhnya penyelenggara pilkada.Desk pilkada yang dibentuk Departemen Dalam Negeri dari tingkat pusat sampai provinsi dan kabupaten/kota telah mengentalkan campur tangan pemerintah.
Desk tersebut dibentuk seolaholah menggantikan posisi KPU pusat. Kedua, dualisme penyelenggara itu telah menyebabkan ketidakjelasan siapa sesungguhnya yang mengawasi kinerja KPU.Ada semacam keterputusan antara keberhasilan yang sudah diraih dalam Pemilu 2004 dengan penyelenggaraan pilkada setelahnya.
Persoalan dualisme ini kemudian diselesaikan dengan terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengembalikan pilkada kepada habitatnya semula sebagai pemilu. Sehingga penyelenggaraannya dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU pusat menjadi semacam koordinator nasional, mengendalikan secara nasional.
Persoalan lainnya adalah masalah kapasitas kelembagaan. Hal ini menjadi salah satu persoalan besar sejak dibentuknya KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri pada 2001, yaitu bagaimana menciptakan penyelenggara pemilu (anggota KPU,sekretariat KPU) yang memahami administrasi pemilu (electoral management) dan bertindak profesional.
Maka dalam hal ini program pendidikan dan pelatihan dalam rangka pembangunan kapasitas kelembagaan (capacity building) menjadi kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawar. Ketiga, masalah daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang tidak lengkap dan tidak akurat.Masalah ini telah memberi peluang konflik dan ketidakpuasan pasangan calon dan pemilih.
DP4 yang dihasilkan Direktorat Adminsitrasi Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) selalu bermasalah dan tidak akurat karena DP4 itu bukanlah hasil pemutakhiran data penduduk.DP4 itu dalam kenyataannya hanyalah menyalin kembali data P4B pemilu legislatif, yaitu data P4B yang diserahkan KPU kepada Departemen Dalam Negeri melalui Menteri Dalam Negeri pada Desember 2004.
Maka terjadilah misalnya mereka yang sudah mati dan orang yang sudah pindah rumah tetap tercatat sebagai pemilih, atau tentara yang sudah pensiun tidak tercatat sebagai pemilih. Seharusnya, sesuai kesepakatan dalam MoU antara KPU dan Departemen Dalam Negeri, maka database kependudukan hasil P4B itu akan dimutakhirkan secara berkala oleh Departemen Dalam Negeri sementara KPU yang melakukan pemutakhiran data pemilih.
Keempat, partisipasi pemilih yang rendah dan masyarakat yang rentan konflik.Pilkada di Indonesia berlangsung secara simultan bergantian di seluruh Indonesia. Hampir setiap tiga hari sekali digelar satu pilkada di Indonesia sehingga kita dijuluki sebagai ”the capital of election in the world”.
Ada semacam kejenuhan dalam masyarakat (pemilih) sehingga partisipasi pemilih menurun. Kemiskinan (ekonomi) dan minimnya informasi mengenai pilkada dan tawaran program pasangan calon memberi kontribusi pada rendahnya partisipasi pemilih. Salah satu contoh tingkat partisipasi pemilih Pilkada Jawa Timur putaran dua hanya 54,32%. Rendahnya minat berpartisipasi ini diperburuk oleh situasi pascapilkada, yakni kondisi kehidupan mereka tidak menjadi lebih baik.
Mereka bertanya, apa gunanya saya memberikan suara dalam pilkada kalau itu tidak memperbaiki kesejahteraan? Di samping itu tampaknya setiap pasangan calon hanya siap menang,tidak siap kalah.Masyarakat yang rentan konflik menjadi mudah dimanfaatkan oleh pasangan calon yang kalah. Berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan pilkada menjadi pelajaran berharga mengenai betapa pentingnya melaksanakan administrasi pemilu secara terjadwal, akurat, dan akuntabel.
Kapasitas kelembagaan dan kemampuan personel di semua jajaran dan lini harus diperbaiki untuk memastikan electoral process berlangsung dengan berkualitas. KPU harus memastikan tak satu pun pemilih yang tidak terdaftar.
Masyarakat berhak memperoleh informasi yang cukup mengenai keseluruhan tahapan pemilihan umum.Informasi ini juga mencakup sense of urgency dari pemilihan umum dalam membangun demokrasi Indonesia agar mampu mendorong partisipasi masyarakat.(*)
Dr Valina Singka Subekti MA
Dosen Ilmu Politik FISIP UI Mantan Anggota KPU (2001–2007)
Sumber : www.seputar-indonesia.com
0 Komentar untuk "Belajar Pemilu dari Pilkada"