Oleh Indra Tranggono
Presiden Barack Obama memuji ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana, termasuk gempa besar di Sumatera Barat. Pasti itu bukan pujian basa-basi mengingat Obama relative paham soal karakter bangsa kita karena pernah hidup dijakarta.
Bangsa ini sudah cukup lama diguncang gempa, baik gempa denotative berskala richter maupun gempa konotatif: gempa politik, gempa social, dan gempa budaya. Gempa konotatif jauh lebih rutin dan panjang dari pada gempa denotative yang datang secara berkala, sesuai dengan hokum alam. Jika bangsa kita tidak tangguh, mana mungkin “tahan” diguncang gempa penjajahan Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama 3,5 tahun.
Warisan penderitaan itu pula yang menjadikan bangsa kita membiarkan Orde Baru-Seoharto mampu menciptakan “gempa” selama 32 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup menyesakkan itu, Orde Baru-Soeharto mampu membelokkan dinamika Sosial-Politik-Ekonomi negeri ini yang semula berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing menjadi elitis, militeristis, dan promodal asing (Baskara T Wardaya, Kompas, 30/9).
Arus utama yang dibangun Orde Baru-Soeharto itu masih mendominasi hingga kini, dimana ekonomi kapitalistik neoliberal mengatur setiap tarikan nafas Kita. Akibatnya, bangsa kita semakin kehilangan kedaulatan dan Negara lebih berperan sebagai “panitia” pasar bebas.
Mereka yang prosistem ekonomi dan politik liberal mungkin menganggap kondisi sekarang ini merupakan pencapaian banga yang “gilang-gemilang”. Kalau toh kemiskinan dan kebodohan masih menganga, itu karena “kesalahan rakyat yang tidak pintar dan kaya”
Mereka lupa bahwa kemiskinan dan kebodohan adalah anak kandung system yang tidak distributive sehingga asset dan akses menggumpal hanya dilingkaran kekuasaan yang terbatas dan tertutup. Inilah kondisi yang oleh Mahatma Gandhi dianggap bertentangan dengan ukuran ideal suatu Negara. Menurut Gandhi, ukuran kebesaran suatu Negara harus didasarkan pada betapa pedulinya Negara kepada rakyatnya yang paling lemah (Indra Gunawan M, kompas, 30/9)
Manusia akrobatik
Hidup di Indonesiv yang akrab dengan bencana gempa politik, sosial,ekonomi, dan budaya harus siap terhadap dua pilihan yang sama-sama ekstrem. Pertama, menjadi manusia kartun. Kedua, menjadi manusia akrobatik. Menjadi manusia kartun berarti harus memiliki ketahanan dan daya banting yang luar biasa. Rumusan ini diambil dari analogi tokoh-tokoh kartun yang tidak ada matinya meskipun dibenturkan, dilempar, digilas, ditindas, dijatuhkan, ditikam, dan ditenggelamkan. Hanya sebentar saja tokoh kartun itu tampak ringsek, tetapi segera menjelma menjadi “manusia perkasa” dan siap bertarung lagi.
Manusia kartun tidak mengenal sakit karena dirinya adalah kesakitan itu sendiri. Ia juga tidak sedih karena ia adalah kesedihan itu sendiri. Terhadap semua kesedihan dan penderitaan, ia sudah mencapai posisi transendental alias “mengatasi”.
Rakyat kita telah menjelma menjadi manusia kartun. Dihajar oleh keadaan apa pun, rakyat kita tetap bertahan dan sukses menjalani kodrat sebagai manusia tangguh. Ketangguhan menjadi pilihan satu-satunya karena bangsa kita tidak punya pelindung untuk dimintai pembelaan atau pengayoman. Rakyat kita memang secara formal memiliki wakil-wakilnya di parlemen, tetapi kebanyakan mereka “kurang memahami” rakyat dan menganggap menjadi parlemen sebagai karier politik an sich yang menjanjikan perolehan materiil.
Rakyat juga punya pemimpin, tetapi umumnya pemimpin yang ada kurang menjiwai hakikat kepemimpinan, yakni sebagai pelayan publik, maka, satu-satunya pilihan bagi rakyat adalah berupaya sendiri dengan menjelma menjadi manusia kartun yang tahan banting dan “tidak ada matinya”.
Sedangkan manusia akrobatik meniscayakan kepiawaian untuk menyiasati keadaan dengan cara-cara kompromi terhadap kekuasaan. Karena itu, manusia akrobatik harus memiliki banyak jurus dan aksi-aksi akrobatik, baik melalui gagasan/wacana maupun tindakan yang-meminjam istilah Gramsci-mengagungkan kekuasaan secara politik maupun ekonomi.
Sejurus dengan hal itu, manusia akrobatik harus menjadi manusia partisipan: membela kepentingan kekuasaan yang dominant. Disini dibutuhkan kapasitas sebagai “jawara”, bukan pendekar. Pendekar, dalam leksikon jagat persilatan, selalu membela yang lemah dan dilemahkan kekuasaan. Pendekar selalu bersifat oposisi terhadap kekuasaan yang dianggap menyimpang. Sedangkan “jawara” selalu kompromi karena orientasi hidupnya hanyalah materi dan kenikmatan hidup, bukan nilai.
Maka, semakin banyak orang berbondong-bondong menjadi manusia akrobatik dan berharap menjadi “jawara”. Sementara itu, kini manusia berkapasitas pendekar yang tahan banting makin langka.
INDRA TRANGGONO
Pemerhati Kebudayaan dan
Cerpenis
Tinggal di Yogyakarta
Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009
0 Komentar untuk "Manusia Kartun Republik Indonesia"